Jakarta – Pemerintah Indonesia resmi bergabung dengan BRICS, blok ekonomi non-Barat yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Keputusan ini, menurut Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno, didorong oleh dua faktor utama: geopolitik dan ekonomi internasional yang tengah bergejolak.
"Kondisi global saat ini cukup tidak menentu," ujar Arif dalam seminar di Universitas Pertahanan, Selasa (28/1). Perang Rusia-Ukraina, perang dagang AS-Cina, konflik di Amerika Latin, dan perang proksi di Afrika menjadi beberapa contoh ketidakpastian tersebut. Oleh karena itu, pemerintah menilai perlu bergabung dengan organisasi internasional yang dapat memperkuat posisi Indonesia di panggung dunia. BRICS, bersama dengan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dilihat sebagai dua kekuatan ekonomi yang mampu memberikan landasan tersebut. Indonesia saat ini tengah dalam proses aksesi ke OECD.
![Indonesia Resmi Bergabung BRICS: Strategi Hadapi Ketidakpastian Global 2 Indonesia Resmi Bergabung BRICS: Strategi Hadapi Ketidakpastian Global](https://lahatsatu.com/wp-content/uploads/2025/01/BRICS-2025_01_07-15_53_20_f4139fea5fcfbd27c524997b7f871aa5_620x413_thumb.jpg)
Keanggotaan di BRICS, menurut Kementerian Luar Negeri, merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kerja sama multilateral dengan negara-negara berkembang. Hal ini didasarkan pada prinsip kesetaraan, saling menghormati, dan pembangunan berkelanjutan. Indonesia berkomitmen aktif dalam agenda BRICS, terutama dalam mendorong ketahanan ekonomi, kerja sama teknologi, dan pembangunan berkelanjutan. Indonesia juga akan berperan dalam mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat. Lebih jauh, keanggotaan ini diharapkan dapat memperjuangkan tatanan global yang lebih inklusif dan adil.
Namun, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengingatkan potensi dampak negatif. Ia khawatir ketegangan antara BRICS dan OECD, khususnya antara Amerika Serikat dan BRICS, dapat menghambat proses aksesi Indonesia ke OECD. Faisal menyarankan pemerintah untuk mengantisipasi hal ini, termasuk kemungkinan terburuk yaitu gagal menjadi anggota OECD. Ia juga menilai karakteristik dan kepentingan ekonomi Indonesia lebih selaras dengan BRICS dibandingkan OECD yang didominasi negara-negara maju.