Jaringan Telegram Jadi Sarang Pertukaran Konten Kekerasan Seksual

Sebuah investigasi mengejutkan mengungkap keberadaan lebih dari 70.000 pria di berbagai negara yang tergabung dalam grup Telegram. Grup-grup ini diduga digunakan untuk berbagi konten eksplisit,

Redaksi

Jaringan Telegram Jadi Sarang Pertukaran Konten Kekerasan Seksual

Sebuah investigasi mengejutkan mengungkap keberadaan lebih dari 70.000 pria di berbagai negara yang tergabung dalam grup Telegram. Grup-grup ini diduga digunakan untuk berbagi konten eksplisit, gambar, dan video kekerasan seksual terhadap perempuan, bahkan termasuk panduan terperinci untuk melakukan pelecehan.

Investigasi yang dipimpin oleh jaringan penyiaran publik Jerman, ARD, menemukan bukti percakapan dalam bahasa Inggris yang berisi instruksi detail mengenai cara menyerang perempuan, mulai dari pasangan, ibu, hingga saudara perempuan. Lebih mengejutkan lagi, beberapa anggota grup menyediakan tautan ke toko online yang menjual obat penenang yang disamarkan sebagai barang sehari-hari. Seorang anggota bahkan dilaporkan membual tentang membius istrinya dan menawarkannya kepada anggota grup lainnya.

Jaringan Telegram Jadi Sarang Pertukaran Konten Kekerasan Seksual
Gambar Istimewa : cdn1.katadata.co.id

Temuan ini menggarisbawahi celah keamanan dalam platform Telegram. Meskipun aplikasi ini populer karena fitur enkripsi end-to-end yang menjamin privasi pengguna, fitur ini justru disalahgunakan untuk melakukan aktivitas ilegal yang sulit dipantau. Meskipun Telegram mengklaim memiliki kebijakan toleransi nol terhadap konten ilegal, platform ini berulang kali dikritik karena enggan bekerja sama dengan lembaga internasional seperti National Center for Missing & Exploited Children (NCMEC) dan Internet Watch Foundation (IWF) dalam menghapus konten berbahaya.

Pendiri Telegram, Pavel Durov, bahkan ditangkap di Prancis pada Agustus 2024 karena diduga gagal mengontrol penyalahgunaan platformnya untuk aktivitas kriminal. Ia dibebaskan dengan jaminan, namun tetap menjalani tahanan rumah sambil menunggu persidangan.

Kasus ini semakin memprihatinkan mengingat tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan. Data menunjukkan satu dari empat perempuan berusia 16-74 tahun di Inggris dan Wales pernah mengalami kekerasan seksual. Di tahun 2022 saja, sekitar 798.000 perempuan di Inggris menjadi korban pemerkosaan, dengan mayoritas pelaku adalah orang-orang terdekat.

Pengungkapan ini memicu seruan internasional untuk memperketat regulasi platform digital. Di Inggris, Online Safety Act 2023 mewajibkan platform media sosial bertanggung jawab melindungi pengguna dari konten ilegal dan eksplisit. Kasus ini menjadi bukti nyata tantangan besar dalam menyeimbangkan privasi pengguna dengan keamanan publik di era digital. Penggunaan aplikasi pesan terenkripsi untuk memfasilitasi kejahatan menunjukkan perlunya strategi yang lebih efektif untuk memerangi kejahatan siber.

Jika keberatan atau harus diedit baik Artikel maupun foto Silahkan Klik Laporkan. Terima Kasih
Laporkan

Tags

Related Post

Tinggalkan komentar

ads cianews.co.id banner 1