Sebuah survei terbaru mengungkap fakta mengejutkan: sistem pendidikan dan pemerintahan di Indonesia menjadi sasaran utama serangan siber. Survei yang dilakukan oleh perusahaan teknologi awan Cloudflare, Inc, melibatkan 3.844 pemimpin keamanan siber dari 14 negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Hasilnya? Sebanyak 40% responden di Indonesia mengaku organisasi mereka mengalami pelanggaran data dalam 12 bulan terakhir, dengan 38% di antaranya mengalami lebih dari 10 kali pelanggaran. Data pelanggan (71%), data keuangan (58%), dan kredensial akses pengguna (56%) menjadi target utama para hacker.
"Lanskap bisnis saat ini semakin sulit, dampak insiden keamanan siber dan pelanggaran data tak dapat diabaikan," ujar Kenneth Lai, Wakil Presiden ASEAN di Cloudflare. "Para pemimpin keamanan siber dihadapkan pada regulasi yang semakin ketat dengan sumber daya yang semakin menipis."
Survei ini juga menunjukkan bahwa 65% organisasi yang pernah diserang ransomware dalam dua tahun terakhir, akhirnya membayar uang tebusan. Padahal, 80% dari mereka sebelumnya berjanji tidak akan membayar tebusan.
Server Remote Desktop Protocol (RDP) atau Virtual Private Network (VPN) menjadi pintu masuk paling umum bagi hacker.
Menariknya, 61% responden mengalokasikan lebih dari 5% anggaran teknologi informasi untuk memenuhi persyaratan regulasi dan kepatuhan. 68% lainnya menghabiskan lebih dari 10% waktu kerja mereka setiap minggu untuk memastikan kesesuaian dengan persyaratan dan sertifikasi regulasi industri.
Investasi dalam regulasi dan kepatuhan terbukti memberikan dampak positif pada tingkat privasi dan keamanan organisasi (78%), integritas teknologi dan data organisasi (77%), serta reputasi dan merek organisasi (72%).
Hasil survei ini menjadi alarm bagi pemerintah dan lembaga pendidikan di Indonesia untuk meningkatkan keamanan siber mereka. Perlu ada langkah konkret untuk melindungi data penting dan mencegah serangan siber yang semakin canggih.