Perang Harga E-commerce China: Temu Gagal Masuk RI, Induk Usahanya Bikin Deflasi 15 Bulan

E-commerce asal China, Temu, tiga kali gagal mendaftarkan merek dagang di Indonesia sejak September 2022. Di balik kegagalannya, induk usaha Temu, Pinduoduo, ternyata menjadi salah

Redaksi

Perang Harga E-commerce China: Temu Gagal Masuk RI, Induk Usahanya Bikin Deflasi 15 Bulan

E-commerce asal China, Temu, tiga kali gagal mendaftarkan merek dagang di Indonesia sejak September 2022. Di balik kegagalannya, induk usaha Temu, Pinduoduo, ternyata menjadi salah satu penyebab deflasi di China yang berlangsung selama 15 bulan berturut-turut.

Deflasi di China, penurunan harga barang terlama dalam seperempat abad, dikhawatirkan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu yang ditargetkan 5% tahun ini.

Perang Harga E-commerce China: Temu Gagal Masuk RI, Induk Usahanya Bikin Deflasi 15 Bulan
Gambar Istimewa : cdn1.katadata.co.id

The Economic Times menyebutkan Pinduoduo merupakan platform dengan diskon besar-besaran. Strategi ini ditiru oleh e-commerce lain, memicu perang harga. Tahun lalu, Taobao milik Alibaba memulai kampanye untuk menilai penjual berdasarkan harga produk. Penjual dengan harga lebih murah akan mendapatkan lebih banyak traffic dan eksposur. JD.com, yang dulunya dikenal menjual barang elektronik kelas atas, juga ikut-ikutan dengan berbagai promo harga murah.

"Sekitar 60% konsumen di China membeli melalui e-commerce, yang mencakup lebih dari sepertiga dari semua pengeluaran ritel," ungkap riset HSBC yang dikutip dari The Economic Times.

Donald Low, profesor praktik kebijakan publik di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, menilai Pinduoduo adalah konsekuensi sekaligus penyebab deflasi.

Pinduoduo, yang berdiri pada 2015, tumbuh lebih cepat daripada para pesaingnya, termasuk Alibaba. Raksasa e-commerce ini baru-baru ini memperluas pasar Temu ke 82 negara. Pendapatan Pinduoduo meningkat 86% pada kuartal III. Namun, perusahaan memperingatkan bahwa laba kedepan mungkin terpukul karena berencana untuk berinvestasi besar-besaran guna mendukung para pedagang berkualitas tinggi.

Colin Huang, pendiri Pinduoduo dan salah satu orang terkaya di Tiongkok, mengatakan salah satu nilai inti perusahaan bukanlah menjual produk murah, tetapi menawarkan barang yang menurut pelanggan lebih murah dari seharusnya. Tahun ini, Huang mengatakan Pinduoduo menyediakan sistem pelacakan harga otomatis yang memungkinkan perusahaan menurunkan harga popoknya setiap kali mendeteksi produk serupa yang tersedia dengan harga lebih rendah.

Pinduoduo tidak berkomentar mengenai anggapan perusahaan sebagai penyebab deflasi terlama di China. Perusahaan hanya menyatakan fitur pelacakan harga itu membantu pedagang meningkatkan efisiensi operasional, sekaligus menyediakan produk dengan harga yang lebih kompetitif bagi pelanggan.

Namun, Lin Yunyun, penjual popok di Pinduoduo, menyatakan tidak sanggup lagi mengikuti perang harga. Ia menjelaskan, fitur pelacakan harga Pinduoduo mengirimkan notifikasi setiap penjual lain menurunkan harga popok, sehingga lebih murah dibandingkan tokonya. Jika Lin menurunkan lagi harga popoknya, maka Pinduoduo akan mempromosikan produknya, sehingga lebih mudah terlihat oleh konsumen. Akan tetapi, notifikasi untuk menurunkan harga terus muncul.

"Platform ini terus mengingatkan saya untuk menurunkan harga," kata Lin, 28 tahun, yang tinggal di Zhangzhou, kota di tenggara Tiongkok. "Jika saya memotong harga lagi, saya tidak akan mendapat untung."

Para ekonom telah mempelajari konsekuensi e-commerce terhadap harga selama bertahun-tahun. Pada pertengahan 2010-an, para ekonom mulai mengutip sesuatu yang disebut Efek Amazon atas pengaruh pedagang online dominan di Amazon.com dalam menurunkan harga di seluruh web dan di toko fisik. Hampir semua pengecer atau reseller, termasuk Amazon, melacak harga satu sama lain dan kemudian menyesuaikan harga mereka sendiri menggunakan apa yang disebut penetapan harga dinamis, ketika harga berubah sesuai dengan kondisi pasar.

Pemikiran konvensional yakni Efek Amazon menjaga harga tetap rendah. Namun profesor di Harvard Business School Alberto Cavallo berpendapat pada 2018, e-commerce membuat harga lebih sensitif terhadap guncangan ekonomi, seperti biaya energi yang lebih tinggi. Cavallo mengatakan Cina mungkin mengalami hal serupa tetapi dalam arah yang berlawanan. Guncangan perekonomian akibat ekonomi yang merosot memberikan tekanan harga ke bawah, dan efeknya dipercepat oleh platform e-commerce.

Jurnalis Cina Zhang Zhuo menulis dalam unggahan berjudul "Semakin Baik Pinduoduo, Semakin Buruk Zamannya". Artikel ini telah dihapus dari WeChat, aplikasi pengiriman pesan yang dominan di Cina. Zhang Zhuo mengatakan Pinduoduo mengondisikan pembeli untuk mengabaikan merek dan mencari opsi harga termurah. "Pedagang hanya punya dua pilihan, harga yang lebih rendah atau mengorbankan penjualan," kata dia.

Seorang pembeli di Pinduoduo, Gao Ning, mengatakan bahwa dia awalnya khawatir menggunakan platform tersebut. Namun ia tetap menggunakan platform ini, karena mudah untuk membeli bahan makanan. Dia membeli tisu toilet, kantong sampah, tong sampah, sabun cuci piring, dan makanan kucing lewat Pinduoduo. "Harga di Pinduoduo lebih murah ketimbang e-commerce lain. Semua orang pergi ke platform ini dengan harapan mendapatkan harga lebih baik," kata dia.

Jika keberatan atau harus diedit baik Artikel maupun foto Silahkan Klik Laporkan. Terima Kasih
Laporkan

Tags

Related Post

Tinggalkan komentar

ads cianews.co.id banner 1