Pencatutan Data Pribadi Marak di Pemilu dan Pilkada, Elsam Soroti Kerugian Bagi Warga

Pencatutan data pribadi kembali menjadi sorotan menjelang Pemilu dan Pilkada 2024. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menemukan banyak kasus kebocoran data hingga pencatutan data

Redaksi

Pencatutan Data Pribadi Marak di Pemilu dan Pilkada, Elsam Soroti Kerugian Bagi Warga

Pencatutan data pribadi kembali menjadi sorotan menjelang Pemilu dan Pilkada 2024. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menemukan banyak kasus kebocoran data hingga pencatutan data pribadi selama penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.

Parasurama Pamungkas, peneliti Elsam, mengungkapkan bahwa KPU seharusnya memastikan data pemilih akurat dan terbaru. Namun, dalam praktiknya, sering ditemukan masalah data tidak akurat atau dicatut tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Pencatutan Data Pribadi Marak di Pemilu dan Pilkada, Elsam Soroti Kerugian Bagi Warga
Gambar Istimewa : cdn1.katadata.co.id

"KPU harus memastikan data terbaru dan valid, namun dalam praktiknya sering ditemukan masalah data tidak akurat atau dicatut tanpa sepengetahuan pemiliknya," ujar Parasurama di Jakarta Pusat, Senin (14/10).

Elsam mencatat 953 kasus pencatutan identitas selama tahun 2022-2023 yang berkaitan dengan partai politik, terjadi di tingkat nasional dan terutama di 9 kota besar di Indonesia. Kota tersebut yakni Cilacap, Pontianak, Solo, Bandung, Majene, Pariaman, Bontang, Jember, dan Aceh. Selain itu, terdapat 1.787 kasus pencatutan data pribadi berkenaan dengan Anggota DPD di berbagai kota besar di Indonesia.

Pada Pilkada 2024, Elsam juga menemukan lebih dari 900 kasus pencatutan data pribadi. Kasus terbanyak terjadi di DKI Jakarta soal aduan pencatutan KTP dukungan Dharma Pongrekun.

Elsam menyoroti sejumlah kerugian yang akan diterima masyarakat akibat pencatutan data pribadi. "Kesalahan dalam pengelolaan data pemilih bukan hanya menciptakan masalah administratif, tetapi juga berpotensi merugikan warga," kata Parasurama.

Dampaknya, para korban yang dicatut identitasnya masuk ke dalam daftar anggota partai politik tanpa persetujuan. Hal ini dapat menghambat mereka dalam menjalankan hak politik dan aktivitas lainnya.

"Penting untuk menjaga kepercayaan publik dan menjamin bahwa data pemilih tidak disalahgunakan dalam proses yang melibatkan masyarakat," tegas Parasurama.

Menurut Elsam, hal ini mencerminkan kelemahan dalam sistem pengelolaan data yang ada. Kurangnya keamanan dan proses verifikasi yang memadai menyebabkan data tidak akurat.

Parasurama meminta transparansi kebijakan privasi dan peningkatan akurasi data diperhatikan dalam penerapan UU PDP mendatang. "Perlu adanya penyeimbang dalam right to privacy dan right to information dalam masalah seputar data pribadi kandidat," katanya.

Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi atau UU PDP bakal berlaku pada 18 Oktober 2024. Namun, Presiden Joko Widodo hingga kini belum membentuk Lembaga Penyelenggara PDP yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini.

Oleh sebab itu, Jokowi diminta membentuk Lembaga Penyelenggara PDP sampai batas waktu pembentukan yakni 17 Oktober 2024. "Apabila Presiden tidak dengan segera membentuk Lembaga Penyelenggara PDP sampai batas waktu 17 Oktober 2024, Presiden Jokowi berpotensi melanggar UU PDP," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha dalam keterangan tertulis, Rabu (18/9).

Jika keberatan atau harus diedit baik Artikel maupun foto Silahkan Klik Laporkan. Terima Kasih
Laporkan

Tags

Related Post

Tinggalkan komentar

ads cianews.co.id banner 1