Berdasarkan laporan dari Cerita.co.id, industri garmen di Indonesia sedang menghadapi krisis yang signifikan. Penutupan pabrik secara bertahap terjadi akibat tekanan ekonomi global, peningkatan biaya produksi, dan persaingan ketat dengan produk impor murah. Kondisi ini telah menyebabkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang berdampak pada ribuan pekerja.
Pandemi COVID-19 memperparah situasi. Penurunan permintaan selama masa pandemi, ditambah dengan kenaikan harga bahan baku seperti kapas dan benang, serta fluktuasi nilai tukar, telah membebani perusahaan garmen. Inflasi global juga menekan daya beli, membuat produsen kesulitan menyesuaikan harga jual dengan biaya produksi yang meningkat.
Persaingan dengan produk impor murah, terutama dari China dan Vietnam, semakin memperburuk keadaan. Produk impor yang lebih terjangkau membuat penjualan produk garmen lokal terus menurun. Tidak hanya perusahaan besar, pelaku usaha kecil seperti konveksi tas pun terdampak.
Dampaknya sangat terasa bagi para pekerja. Ribuan pekerja telah kehilangan pekerjaan, baik buruh harian maupun pekerja tetap. Di Jawa Barat, pusat industri garmen terbesar di Indonesia, beberapa perusahaan bahkan melaporkan penurunan produksi hingga 50%, memaksa mereka untuk mengurangi jumlah karyawan atau menghentikan operasi.
Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan langkah-langkah strategis. Pemerintah diharapkan memberikan subsidi bahan baku, mengurangi beban pajak, dan memperketat pengawasan impor ilegal. Pelaku usaha perlu berinovasi dalam desain dan pemasaran, sementara konsumen didorong untuk mendukung produk lokal. Program pelatihan ulang (reskilling) juga penting bagi pekerja yang terkena PHK agar mereka dapat beradaptasi dengan pasar kerja.
Berita ini juga terbit di: www.vritimes.com/id