Gagasan Presiden Prabowo Subianto soal pengampunan bagi koruptor yang mengembalikan aset negara menuai kritik tajam. Banyak pihak meragukan efektivitas usulan tersebut dan mendesak prioritas pada pengesahan RUU Perampasan Aset.
Agus Sunaryanto dari Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya, menilai Prabowo seharusnya fokus pada percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset. Menurutnya, pengesahan RUU ini selaras dengan komitmen pemerintah dalam dokumen Astacita untuk memperkuat reformasi hukum dan pemberantasan korupsi. Agus mendesak pengiriman Surat Presiden agar RUU tersebut diprioritaskan dalam pembahasan DPR, meskipun sudah masuk Prolegnas 2025-2029. Ia menekankan, RUU ini penting untuk memulihkan aset negara dan mendukung program pemerintah.

Senada, Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, juga mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset sebagai solusi yang lebih efektif ketimbang memberi pengampunan. Mahfud mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas dalam usulan pengampunan tersebut. Ia khawatir potensi pengampunan diam-diam akan terjadi.
Boyamin Saiman dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menambahkan, usulan pengampunan harus dibarengi dengan penguatan penegakan hukum. Menurutnya, koruptor umumnya tidak mengakui kesalahannya dan sering mangkir dari persidangan. Mereka sering menganggap aset hasil korupsi sebagai upah, sehingga kecil kemungkinan akan mengembalikannya.
Sebelumnya, Prabowo menyatakan akan mengampuni koruptor yang mengembalikan hasil kejahatan mereka dalam beberapa minggu atau bulan. Pernyataan ini disampaikan dalam pidatonya di Kairo, Mesir. Namun, usulan ini kini dihadapkan pada gelombang kritik dari berbagai pihak yang lebih menekankan pada penegakan hukum dan pengesahan RUU Perampasan Aset.