Jakarta – Era kejayaan gerai kopi Starbucks di berbagai sudut kota tampaknya mulai meredup. Setelah bertahun-tahun berekspansi tanpa henti, perusahaan kopi raksasa ini menghadapi tantangan berat yang memaksa mereka untuk melakukan restrukturisasi besar-besaran.
Starbucks mengumumkan rencana penutupan sekitar 400 gerai di Amerika Serikat, atau sekitar 1% dari total gerainya di negara tersebut. Langkah ini juga akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 900 karyawan. Penutupan dan PHK ini merupakan bagian dari rencana restrukturisasi senilai US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 16 triliun.

Menurut laporan CNN, restrukturisasi ini mencakup alokasi dana untuk pesangon karyawan sebesar US$ 150 juta, pelepasan dan penurunan nilai aset toko senilai US$ 400 juta, serta biaya sewa sebesar US$ 450 juta.
CEO Starbucks, Brian Niccol, menjelaskan bahwa gerai-gerai yang ditutup adalah gerai yang tidak memenuhi harapan pelanggan dan karyawan, atau tidak menghasilkan keuntungan yang diharapkan.
Meskipun penutupan 400 gerai mungkin tampak kecil dibandingkan dengan total lebih dari 32.000 gerai Starbucks di seluruh dunia, langkah ini menandai perubahan signifikan dalam strategi bisnis perusahaan. Starbucks masih berencana membuka gerai baru tahun depan, namun fokusnya kini lebih tertuju pada efisiensi dan profitabilitas.
Analis dari Placer.ai, RJ Hottovy, menilai bahwa penutupan gerai ini dipicu oleh perubahan perilaku konsumen sejak pandemi Covid-19. Banyak konsumen yang beralih dari pusat kota, sehingga Starbucks harus melepas sewa di area yang bisnisnya menurun.
Selain itu, Starbucks juga menghadapi persaingan yang semakin ketat dari kedai kopi independen, rantai kopi baru, dan operator drive-thru. Harga yang diterapkan Starbucks juga menjadi perhatian pelanggan, terutama mereka dengan pendapatan di bawah US$ 100.000 per tahun.
Survei UBS menunjukkan bahwa lebih dari 70% responden menyebut harga yang lebih tinggi sebagai alasan mereka akan lebih jarang mengunjungi Starbucks dalam 12 bulan ke depan. Hottovy menambahkan bahwa upaya kebangkitan Starbucks semakin menantang akibat ketidakpastian makroekonomi dan ekspansi cepat pesaing yang berfokus pada layanan drive-thru.