Wacana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI kembali memicu kekhawatiran akan kebangkitan dwifungsi militer. Rencana penambahan jabatan sipil yang dapat diisi prajurit aktif TNI dalam revisi tersebut, dinilai sejumlah pihak berpotensi mengulang era Orde Baru di mana militer aktif terlibat dalam politik praktis.
Ingatan publik pun tertuju pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada masa transisi pasca-jatuhnya Soeharto, SBY, kala itu menjabat Kepala Staf Teritorial ABRI (nama TNI sebelum reformasi), ditunjuk Panglima TNI Wiranto sebagai Ketua Tim Reformasi ABRI. Selama dua tahun, SBY memimpin upaya besar untuk memisahkan TNI dari politik praktis, sebuah warisan Orde Baru yang dinilai merusak demokrasi.

Upaya SBY tak hanya sebatas merumuskan langkah-langkah strategis. Ia aktif mengunjungi kampus-kampus, mensosialisasikan pentingnya reformasi sektor keamanan. Puncaknya adalah pemisahan TNI dan Polri pada 1999, menandai berakhirnya keterlibatan militer aktif dalam politik dan penegakan hukum di dalam negeri. Proses ini kemudian tuntas di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Sikap tegas SBY terhadap isu ini kembali ditegaskan baru-baru ini. Dalam pengarahan kepada Ketua DPD Partai Demokrat, SBY menyatakan bahwa keterlibatan TNI aktif dalam politik praktis adalah hal yang tabu. Pernyataan ini menjadi penegasan komitmennya terhadap reformasi sektor keamanan yang telah dirintisnya.
Namun, rencana revisi UU TNI yang membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki sejumlah jabatan sipil, menuai kritik dari berbagai pihak. Hans Giovanny dari KontraS menilai revisi tersebut bertentangan dengan semangat reformasi. Senada, Usman Hamid dari Amnesty Internasional menegaskan bahwa rencana tersebut melanggar TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri yang melarang anggota TNI aktif menduduki jabatan sipil.
Perdebatan seputar revisi UU TNI ini menjadi momentum penting untuk mengingat kembali perjuangan panjang menghapus dwifungsi TNI, sebuah perjuangan yang dimulai dan dipimpin oleh SBY. Apakah revisi ini akan mengikis hasil reformasi tersebut, atau justru menjadi langkah untuk memperkuat profesionalisme TNI, masih menjadi pertanyaan yang perlu dijawab.