Pertemuan hangat Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Balai Kota Jakarta akhir tahun lalu memicu spekulasi. Keakraban keduanya, yang terlihat dalam acara ramah tamah bersama mantan Gubernur Jakarta lainnya seperti Sutiyoso, Djarot Saiful Hidayat, dan Fauzi Bowo, serta Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Pramono Anung-Rano Karno, dipandang sebagai manuver politik.
Arifki Chaniago, Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, melihat pertemuan tersebut sebagai upaya membangun narasi oposisi terhadap Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. "Ini cara Anies dan Ahok memancing publik, membangkitkan rasa penasaran," ujar Arifki. Ia menilai, Anies dan Ahok, yang kini berada di luar pemerintahan, memiliki daya tarik sebagai figur oposisi. Ahok sebagai Ketua DPP Bidang Perekonomian PDI-P dan Anies sebagai mantan capres 2024, dinilai Arifki memiliki potensi untuk mengisi kekosongan ruang oposisi. "Panggung oposisi saat ini kan kosong," tambahnya.

Namun, Arifki menekankan masih terlalu dini untuk menyimpulkan adanya koalisi politik antara Anies dan Ahok menjelang 2029. "Kita tidak bisa berasumsi, masih terlalu jauh," tegasnya.
Pandangan berbeda disampaikan Wasisto Raharjo Jati, Pakar Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ia menilai pertemuan tersebut lebih sebagai sinyal rekonsiliasi antar mantan dan gubernur terpilih. "Saya pikir masih terlalu dini untuk menilai kolaborasi ini demi 2029," kata Wasisto.
Pertemuan tersebut juga diwarnai dengan obrolan antara Anies dan Ahok. Meski Ahok enggan merinci isi pembicaraan mereka, ia dan Anies kompak memberikan kode akan ada kejutan di awal tahun 2025. Sambil tersenyum dan memegang pundak Anies, Ahok berkata, "Tunggu bulan depan." Anies menambahkan, "Tunggu tanggal mainnya. Kalau dibilang tunggu, ya tunggu." Pertanyaan besarnya kini, apa sebenarnya kejutan yang dimaksud? Apakah ini benar-benar sinyal lahirnya kekuatan oposisi baru? Waktu yang akan menjawabnya.