DPR Periode 2019-2024: Kinerja Legislasi Terburuk Sejak Reformasi 1998

Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 mendapat sorotan tajam. Produktivitas DPR dalam melahirkan undang-undang selama lima tahun terakhir dinilai sebagai yang terburuk dalam sejarah

Redaksi

DPR Periode 2019-2024: Kinerja Legislasi Terburuk Sejak Reformasi 1998

Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 mendapat sorotan tajam. Produktivitas DPR dalam melahirkan undang-undang selama lima tahun terakhir dinilai sebagai yang terburuk dalam sejarah lembaga legislatif sejak era reformasi 1998.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengungkapkan, DPR lebih fokus menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) kumulatif terbuka, yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahunan.

DPR Periode 2019-2024: Kinerja Legislasi Terburuk Sejak Reformasi 1998
Gambar Istimewa : cdn1.katadata.co.id

"DPR mengesahkan begitu banyak RUU kumulatif terbuka. Dalam konteks RUU Prolegnas, jadi hanya 5 RUU saja yang DPR selesaikan dalam setahun," ujar Koordinator Riset Formappi, Lucius Karus.

RUU kumulatif terbuka merupakan RUU yang diusulkan oleh pihak eksternal, seperti pemerintah, untuk mengesahkan ketentuan dan mengubah beberapa pasal tertentu. RUU jenis ini tidak berasal dari inisiatif DPR.

Lucius mencontohkan sejumlah RUU yang datang dari pengajuan pemerintah, seperti RUU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law), RUU Ibu Kota Negara, dan revisi UU ITE.

Formappi juga menyoroti pengesahan RUU Kementerian Negara dan RUU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang tidak masuk dalam prolegnas.

"Ini memprihatinkan karena mestinya DPR bisa menghasilkan lebih banyak sesuai dengan rencana yang mereka buat," tegas Lucius.

Selain minimnya inisiatif, proses legislasi di DPR juga diwarnai kontroversi. Pembahasan RUU kerap dilakukan secara terburu-buru dan kurang melibatkan publik.

"DPR kerap menyiasati pembahasan RUU yang sesungguhnya merupakan RUU prioritas. Mereka mau cepat dan mau mengutak-atik 1-2 pasal yang memang diinginkan untuk diubah oleh pihak lain," ungkap Lucius.

Indikasi intervensi politik dalam proses legislasi berdampak pada melemahnya fungsi lembaga negara yang dibentuk oleh UU.

"Katakanlah MK setelah DPR mengutak-atik 1-2 pasal saja terkait dengan usia pensiun hakim MK, sejak saat itu MK sudah di bawah kendali DPR," ujar Lucius.

Polemik revisi UU TNI-Polri dan revisi UU MK yang diwariskan ke DPR periode berikutnya juga menjadi sorotan.

Revisi UU Polri, misalnya, mendapat kritik karena berpotensi menghambat regenerasi di tubuh personel. Revisi ini mengubah ketentuan batas usia pensiun dari 58 menjadi 60 tahun, dan anggota polisi dengan keahlian khusus akan pensiun pada usia 65 tahun.

"Hal negatifnya juga akan berdampak terhadap regenerasi yang begitu panjang karena nantinya jabatan strategis sulit dicapai oleh beberapa kader muda," ujar Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago.

Pengamat Kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyarankan agar revisi UU Polri mengutamakan kepentingan publik.

"Semisal revisi itu mengatur soal penambahan personel itu wajar ya, tapi kalau untuk menambah batas usia pensiun, itu tidak wajar," ujar Bambang.

Kinerja DPR periode 2019-2024 menjadi catatan penting bagi parlemen Indonesia. Minimnya inisiatif, kontroversi dalam proses legislasi, dan potensi intervensi politik menjadi tantangan yang harus dibenahi oleh DPR periode selanjutnya.

Jika keberatan atau harus diedit baik Artikel maupun foto Silahkan Klik Laporkan. Terima Kasih
Laporkan

Tags

Related Post

Tinggalkan komentar

ads cianews.co.id banner 1