Jakarta, Lahatsatu.com – Harga Bitcoin (BTC) menunjukkan tren penguatan yang menjanjikan. Setelah sempat mencapai puncak mingguan di angka US$ 126.198 atau sekitar Rp 2,09 miliar, mata uang kripto ini kini berada di kisaran US$ 121.382 atau Rp 2,01 miliar per hari ini, Jumat (10/10/2025).
Menurut analisis dari Tokocrypto, Bitcoin berpotensi melanjutkan tren positifnya. Area support berada di US$ 119.500, bertepatan dengan level Fibonacci 50%. Sementara itu, resistensi kuat di US$ 124.850 menjadi indikasi potensi kenaikan hingga US$ 130.000 atau setara dengan Rp 2,15 miliar.

Fyqieh Fachrur, seorang analis dari Tokocrypto, menjelaskan bahwa volatilitas rendah yang terlihat pada Bollinger Band squeeze justru menjadi sinyal yang menarik. Ia menambahkan bahwa pasar saat ini sedang memasuki fase konsolidasi yang sehat.
"Jika Bitcoin mampu bertahan di atas US$ 120.000 dan menembus US$ 124.850, peluang menuju US$ 130.000 akan semakin besar. Namun, jika gagal mempertahankan level US$ 119.500, ada kemungkinan koreksi jangka pendek hingga US$ 117.000," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Dalam 24 jam terakhir pada 9 Oktober 2025, harga Bitcoin naik sebesar 0,64% menjadi sekitar US$ 122.273 atau Rp 2,0 miliar. Tren positif ini melanjutkan performa mingguan sebesar +3,07% dan bulanan +9,22%.
Penguatan harga Bitcoin didorong oleh beberapa faktor, termasuk ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed, peningkatan permintaan dari investor institusional melalui ETF, dan kekuatan teknikal harga di atas level support. Risalah rapat FOMC baru-baru ini juga mengisyaratkan sinyal dovish dari para pejabat The Fed.
Sebagian besar peserta rapat menilai bahwa pelonggaran kebijakan moneter akan tepat untuk dilakukan pada sisa tahun ini. Data CME FedWatch menunjukkan peluang sebesar 92,5% untuk pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan 29 Oktober mendatang.
Investor meyakini bahwa pelonggaran moneter ini akan melemahkan daya tarik dolar AS dan meningkatkan minat pada aset langka seperti Bitcoin. Fyqieh menambahkan bahwa kebijakan ekspansif Amerika Serikat (AS), termasuk injeksi dana US$ 2,5 triliun melalui program Reverse Repo, memberikan sinyal bullish bagi Bitcoin.
"Kebijakan moneter longgar mengurangi daya tarik aset berbasis fiat dan memperkuat narasi Bitcoin sebagai aset lindung nilai terhadap pelemahan dolar AS. Seperti yang terjadi pada tahun 2020-2021, penurunan imbal hasil riil biasanya diikuti oleh lonjakan permintaan kripto, khususnya Bitcoin," jelasnya.
Selain itu, adopsi Bitcoin oleh investor institusi juga semakin meningkat. Data dari Bitwise menunjukkan bahwa total inflow mencapai US$ 22,5 miliar sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2025. Angka ini diproyeksikan akan meningkat hingga US$ 30 miliar pada akhir tahun.
Fyqieh memperkirakan bahwa arus masuk ETF akan mencetak rekor baru pada kuartal IV, seiring dengan meningkatnya perhatian investor ritel dan institusi terhadap Bitcoin. Namun, ia tetap mengingatkan akan adanya risiko eksternal.
"Kunci penggerak Bitcoin ke depan terletak pada keseimbangan antara kebijakan The Fed dan kekuatan inflow ETF. Jika The Fed menunda pemangkasan suku bunga, arus masuk ETF harus tetap kuat agar tren bullish tidak kehilangan momentum," pungkasnya.