Rencana pemerintah untuk membatalkan kenaikan cukai rokok pada tahun depan mendapat kecaman dari berbagai pihak. Koalisi yang terdiri dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai keputusan ini sebagai kemunduran dalam upaya perlindungan kesehatan publik.
"Kenaikan tarif cukai rokok merupakan alat yang paling efektif dalam mengurangi konsumsi rokok," tegas Risky Kusuma Hartono, Koordinator Riset PKJS-UI. "Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa menaikkan harga melalui kebijakan cukai adalah strategi pengendalian konsumsi rokok yang paling efektif."
Risky menambahkan, Indonesia saat ini memiliki prevalensi perokok yang tinggi dan tanpa tindakan tegas, angka ini akan terus meningkat.
Pembatalan kenaikan cukai rokok juga dinilai akan berdampak negatif terhadap perlindungan anak dan upaya menekan kemiskinan. Studi PKJS-UI menunjukkan bahwa harga rokok yang murah meningkatkan peluang anak untuk merokok dan membuat mereka sulit berhenti setelah pernah berhenti.
"Harga rokok murah juga menjadi faktor yang mendorong anak kambuh untuk merokok kembali," ujar Risky.
Selain itu, masyarakat prasejahtera juga masih mudah membeli rokok, sehingga sulit untuk berhenti dari adiksi. Studi PKJS-UI lainnya menunjukkan bahwa setiap 1% kenaikan belanja rokok, meningkatkan peluang terhadap kemiskinan sebesar 6 persen poin pada rumah tangga.
"Konsumsi rokok memiliki pengaruh besar terhadap garis kemiskinan," tegas Risky.
Ketua Komnas PT, Hasbullah Thabrany, menekankan pentingnya belajar dari negara-negara yang telah sukses menekan prevalensi perokok melalui instrumen cukai. "Mereka mengalokasikan pendapatan dari cukai tersebut untuk program-program pencegahan dan pengobatan penyakit terkait rokok," ujar Hasbullah.
Beladenta Amalia, Project Lead for Tobacco Control CISDI, menambahkan bahwa salah satu sasaran utama kebijakan cukai rokok adalah mengurangi akses generasi muda dan masyarakat prasejahtera terhadap rokok.
"Banyak studi sudah menunjukkan efektivitas harga rokok yang lebih tinggi untuk menurunkan keterjangkauan rokok, khususnya pada generasi muda," jelas Beladenta. "Tanpa kenaikan tarif cukai yang signifikan, kelompok rentan, termasuk generasi muda, akan semakin mudah mengakses produk ini dan memperburuk krisis kesehatan masyarakat yang ada."
Riset CISDI (2021) menunjukkan bahwa konsumsi rokok memberi beban biaya kesehatan sebesar Rp17,9-27,7 triliun selama setahun pada 2019 akibat penyakit yang timbul dan berasosiasi dengan rokok. Angka ini setara dengan 61,75% hingga 91,8% total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2019.
Ketiga organisasi tersebut mendesak pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, untuk menaikkan tarif cukai tahun 2025 secara bertahap, dimulai dengan 25% di awal tahun, kemudian disesuaikan dengan inflasi ditambah 10% pada tahun berikutnya.
Mereka juga merekomendasikan peningkatan Harga Jual Eceran (HJE) minimum dan penyederhanaan struktur tarif CHT menjadi 5 hingga 3 golongan sebelum 2029. Selain itu, pemerintah diminta mendekatkan tarif antar golongan untuk mempersempit peluang perokok memilih merek yang lebih murah.
Kenaikan cukai ini mencakup semua produk tembakau, termasuk rokok elektronik dan tembakau iris, dengan kenaikan minimal 25% dan khusus untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) di atas 5%.