Indonesia punya potensi besar dalam memanfaatkan kecerdasan buatan (AI). Adopsi AI di Indonesia tergolong tinggi di Asia Tenggara, namun masih menyimpan peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi. Data Oliver Wyman 2023 menunjukkan baru 13% bisnis di Indonesia yang menggunakan AI secara canggih, meskipun lebih dari 80% telah berinvestasi atau menggunakannya. Menariknya, 50% pekerja Indonesia menggunakan AI minimal sekali seminggu, melampaui rata-rata global 40%. Survei Microsoft dan LinkedIn 2024 bahkan menunjukkan 92% pekerja Indonesia memanfaatkan AI generatif, jauh di atas rata-rata global (75%) dan Asia Pasifik (83%).
Potensi ekonomi AI memang sangat besar. Laporan McKinsey Global Institute (2023) memprediksi kontribusi AI hingga US$ 13 triliun terhadap ekonomi global pada 2030, setara dengan kenaikan PDB global 1,2% per tahun. PwC bahkan memperkirakan angka yang lebih tinggi, yakni US$ 15,7 triliun. World Economic Forum (WEF) dan Bank Dunia sepakat bahwa AI adalah kunci pertumbuhan ekonomi di era Revolusi Industri 4.0, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia, karena berpotensi mengurangi kesenjangan digital dan mendorong inovasi di sektor vital.

Riset Kearney memperkirakan AI akan berkontribusi US$ 366 miliar (12%) terhadap ekonomi Indonesia pada 2030. Namun, Indonesia masih berada di peringkat 46 dari 62 negara dalam adopsi AI industri (Global AI Index 2023). Laporan APAC AI Outlook 2025 menunjukkan perusahaan-perusahaan di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, mulai beralih dari tahap eksperimen ke tahap memaksimalkan dampak investasi AI. Lebih dari separuh (54%) mengharapkan manfaat jangka panjang dari AI, seperti inovasi dan peningkatan pendapatan.
Adrian Lesmono, Country Consumer Business Lead NVIDIA, menekankan pentingnya penyesuaian penerapan AI dengan prioritas pembangunan nasional. Inisiatif seperti KORIKA (Kolaborasi Riset & Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial) berupaya menjembatani kolaborasi antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat. Insaf Albert Tarigan, Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan, mengajak penyempurnaan strategi pemanfaatan AI nasional sebagai panduan bagi pemerintah dan swasta. Ia menekankan pentingnya kolaborasi global untuk transfer teknologi, investasi, dan riset bersama guna mempercepat adopsi teknologi dan memperkuat kedaulatan teknologi Indonesia. Indonesia perlu beralih dari menjadi "pengguna" AI menjadi "pengembang" dan "pembuat" AI.
Contoh penerapan AI di Indonesia beragam, mulai dari Indosat Ooredoo Hutchison yang memanfaatkan AI untuk layanan pelanggan dan jaringan, serta membangun ekosistem AI inklusif, hingga GoTo yang menggunakan AI untuk personalisasi layanan. Kata.ai juga mengembangkan solusi AI untuk interaksi pelanggan, sementara pemerintah memanfaatkan AI untuk otomatisasi layanan publik dan moderasi konten.
Meskipun potensi besar, tantangan tetap ada. Sri Safitri, Sekjen Partnership KORIKA, menyebutkan keterbatasan SDM ahli AI, infrastruktur digital, pendanaan riset dan pengembangan, regulasi data dan kebijakan AI, serta akses teknologi sebagai hambatan utama. Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital CELIOS, menekankan pentingnya dukungan pemerintah, kolaborasi industri, dan peningkatan keterampilan tenaga kerja untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan berkat AI.