Polemik melingkupi panggilan "Gus" yang disematkan pada Miftah Maulana Habiburrahman, usai video dirinya menghina pedagang es teh viral di media sosial. Miftah, yang juga menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, mendapat sorotan tajam publik terkait penggunaan gelar tersebut.
Banyak netizen mempertanyakan kesesuaian gelar "Gus" dengan perilaku Miftah. Gelar yang umumnya dikaitkan dengan figur panutan dan teladan di masyarakat Jawa, khususnya dalam lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), dinilai tak selaras dengan tindakannya. Di kalangan NU, "Gus" merupakan panggilan istimewa, lazimnya diberikan kepada putra seorang kiai.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan "Gus" sebagai sebutan atau panggilan untuk laki-laki. Lebih jauh, menurut buku Baoesastra Djawa karya Poerwadarminta, asal-usul kata "Gus" berasal dari "Bagus," sebutan untuk putra raja di lingkungan keraton yang kemudian disingkat menjadi "Den Gus."
Seiring waktu, makna "Gus" berevolusi. Tak hanya terbatas pada putra kiai, panggilan ini juga melekat pada individu yang dianggap memiliki pemahaman agama yang mendalam, tanpa terikat usia.
Namun, KH Abdurrahman Al-Kautsar, putra Kiai Pengasuh Pesantren Al Falah Ploso, mengingatkan bahwa gelar "Gus" bukan sekadar simbol kebanggaan pribadi. "Di Jawa Timur, panggilan ini merupakan penghormatan kepada jasa-jasa orang tuanya, bukan penghormatan kepada dirinya sendiri," tegas Gus Kautsar. Ia pun menyayangkan sikap mereka yang merasa berbangga diri dengan gelar "Gus", karena hakikatnya gelar tersebut bukan semata-mata karena faktor keturunan. Perilaku dan keteladanan, menurutnya, jauh lebih penting daripada sekedar gelar.