Investasi di bidang kecerdasan buatan (AI) di Asia Tenggara memang sedang naik daun. Namun, adopsi AI di wilayah ini masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Eropa dan Amerika Serikat. Apa penyebabnya?
Jamie Lin, Founding Partner AppWorks, mengungkapkan bahwa harga dan model bahasa besar (LLM) menjadi penghambat utama. Meskipun jumlah pengguna ChatGPT secara global mencapai 250 juta, angka ini masih jauh dari total populasi dunia. Lin meyakini angka ini akan terus bertambah, namun tidak akan mencapai angka yang signifikan.

Asia mulai melihat peluang AI 2.0 atau LLM sejak OpenAI merilis ChatGPT dua tahun lalu. Sejak saat itu, beberapa lembaga dan perusahaan di Asia mulai mengembangkan LLM versi mereka sendiri. Lin menegaskan bahwa Asia tidak tertinggal dalam pengembangan AI, bahkan beberapa komunitas di Asia lebih maju dibandingkan dengan Eropa dan Amerika.
Namun, ada dua hal yang menghambat adopsi AI di Asia. Pertama, LLM belum sepenuhnya memahami bahasa lokal Asia, sehingga kegunaannya terbatas. Kedua, banyak pengembang AI menetapkan harga yang lebih mahal untuk negara-negara berpendapatan rendah seperti Asia dan Asia Tenggara.
Esther Wong, Founder dan Chief Investment Officer 3Cap, melihat bahwa pengembangan AI di Asia masih membutuhkan investasi besar di bidang infrastruktur. Malaysia dan Indonesia menjadi target investasi terbaik karena harga listriknya yang murah. Hal ini penting karena AI membutuhkan banyak energi untuk memproduksi token.
Pemerintah Malaysia dan Indonesia juga sangat terbuka terhadap investasi dan memiliki regulasi yang tidak memberatkan investor asing. Wong percaya bahwa Asia Tenggara tidak terlambat untuk terlibat dalam infrastruktur AI. Masalah bahasa, investasi, dan harga menjadi kendala utama.
Meskipun ada kendala, beberapa perusahaan teknologi besar telah berinvestasi di infrastruktur AI, seperti pusat data. Microsoft telah menginvestasikan US$ 1,17 miliar di Indonesia untuk mengembangkan infrastruktur cloud dan AI, serta melatih 840.000 warga Indonesia. Di Malaysia, Microsoft menginvestasikan US$ 2,2 miliar untuk memperluas infrastruktur dan melatih 200.000 warga setempat.
Google juga menginvestasikan US$ 2 miliar untuk membangun pusat data dan kawasan cloud di Malaysia. Di Indonesia, Google memberikan hibah US$ 2 juta untuk mengembangkan kemampuan AI bagi 200.000 petani. Nvidia juga telah menginvestasikan US$ 4,3 miliar untuk mengembangkan infrastruktur AI dan mempercepat pengembangan LLM bahasa Melayu.
Meskipun investasi besar telah dilakukan, adopsi AI di Asia masih menghadapi tantangan. Tantangan ini harus diatasi agar Asia dapat memanfaatkan potensi AI secara maksimal dan bersaing di era digital.