Direksi perusahaan terlindungi dari tuntutan hukum jika menjalankan aksi korporasi sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan aturan hukum yang berlaku. Hal ini ditegaskan oleh Ahmad Redi, pengajar Program Pascasarjana Universitas Borobudur, dalam seminar "Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi" di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Kamis (14/11).
"Jika aksi korporasi dilakukan sesuai prinsip GCG, direksi sudah dilindungi (UU) sebetulnya," ujar Redi. Ia menjelaskan, Business Judgement Rules melindungi direksi dari tanggung jawab hukum atas keputusan yang diambil, selama keputusan tersebut dibuat dengan itikad baik, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).

Namun, Redi mengingatkan, direksi dapat dijerat hukum jika menjalankan keputusan perusahaan dengan serampangan, memiliki benturan kepentingan, dan tidak berusaha mencegah kerugian. Hal ini merujuk pada Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Apabila direksi terbukti melakukan pelanggaran, maka mereka dapat dikenakan sanksi pidana," tegas Redi.
Terkait kontroversi pasal 2 dan 3 UU 31 Tahun 1999, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita mengusulkan revisi, bukan penghapusan. Ia menilai, penghapusan pasal tersebut dapat berdampak buruk bagi pemerintahan.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK 2003-2007 Amien Sunaryadi berpendapat, kedua pasal tersebut sebaiknya dicabut melalui judicial review. Ia menilai, pasal-pasal tersebut sudah tidak relevan dalam upaya pemberantasan korupsi saat ini.
"Fokus pemberantasan korupsi seharusnya diarahkan pada suap dan gratifikasi," ujar Amien.
Chandra Hamzah, Wakil Ketua KPK 2007-2011, menambahkan, frasa "kerugian negara" dalam Undang-Undang Tipikor 1999 perlu diubah karena Indonesia kesulitan dalam meminta bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA) dari negara lain.
"Di negara lain, tindakan kriminal di Indonesia belum tentu dianggap tindakan kriminal juga di negara lain," jelas Chandra.
Ia menyarankan penggunaan istilah "suap" yang lebih universal dalam kerja sama penyidikan internasional.
Para pakar sepakat, pemberantasan korupsi di Indonesia harus fokus pada suap dan gratifikasi untuk meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang terus memburuk.