Rencana pemerintah menjadikan pengemudi ojek online (ojol) sebagai karyawan tetap menuai kontroversi. Modantara, asosiasi perusahaan mobilitas dan pengantaran digital, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi dampak negatif kebijakan tersebut. Wamenaker Immanuel Ebenezer telah menyatakan akan membuat regulasi yang mengakui status pengemudi ojol sebagai pekerja, bukan mitra, pada Selasa (17/2).
Modantara memprediksi kebijakan ini akan mengakibatkan lonjakan biaya operasional yang signifikan bagi aplikator. Kenaikan harga layanan yang tak terhindarkan berpotensi menurunkan permintaan, bahkan mengancam keberlangsungan bisnis beberapa aplikator. "Beberapa aplikator dapat mengalami kesulitan finansial hingga harus menutup layanan mereka sepenuhnya," demikian pernyataan resmi Modantara, Kamis (21/2).

Sebagai contoh, Modantara menunjuk kasus Deliveroo di Spanyol yang terpaksa hengkang dari pasar akibat regulasi yang memberatkan. Hal serupa juga terjadi di beberapa negara lain yang telah menerapkan kebijakan serupa. Di Jenewa, Swiss, jumlah pengemudi online dilaporkan turun hingga 67% setelah pengadilan menetapkan Uber Eats sebagai pemberi kerja. Di Spanyol, Glovo hanya mampu mempertahankan 17% mitranya, Uber kehilangan 4.000 mitra, dan Deliveroo menarik diri. Pengalaman Inggris, Singapura, dan Seattle, AS, juga menunjukkan dampak negatif berupa penurunan jumlah pengemudi dan kenaikan biaya operasional. Bahkan, Pengadilan Distrik Amsterdam juga memutuskan pengemudi Uber sebagai karyawan.
Modantara merangkum lima potensi dampak negatif regulasi yang terlalu kaku: kesulitan operasional platform, pengurangan jumlah mitra ojol, hilangnya lapangan kerja, kenaikan harga layanan bagi konsumen, dan hilangnya fleksibilitas kerja bagi para pengemudi. Asosiasi ini menekankan pentingnya pendekatan yang berimbang dan mempertimbangkan konteks masing-masing negara. Mereka mendesak pemerintah untuk berperan sebagai fasilitator dalam merumuskan regulasi yang melindungi semua pihak—aplikator, mitra, konsumen, dan pemerintah.
Pandangan senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies, Yose Rizal Damuri, yang menegaskan bahwa aplikator berperan sebagai fasilitator, bukan pemberi kerja. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menambahkan bahwa regulasi ini harus dilihat sebagai bagian dari ekosistem yang lebih luas, mempertimbangkan kepentingan semua pemangku kepentingan. Ia mengingatkan potensi penghambatan pertumbuhan digitalisasi nasional jika kebijakan ini tidak dirancang secara matang dan komprehensif.
Modantara pun menyoroti pentingnya perbandingan dengan pengalaman negara lain dan pendekatan yang lebih inklusif dalam menyusun regulasi terkait pekerja platform digital. Mereka menekankan perlunya mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap fleksibilitas kerja para pengemudi ojol. Asosiasi ini menyatakan kesiapannya untuk berdialog dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya demi mencapai solusi yang berkelanjutan.