Pertumbuhan ekonomi Vietnam terus melaju kencang. Pada kuartal III tahun ini, Produk Domestik Bruto (PDB) Vietnam tumbuh 7,4% secara tahunan, menjadi yang tertinggi dalam dua tahun terakhir. Prestasi ini diraih meski Vietnam dilanda badai Typhoon Yagi bulan lalu.
Kinerja ekspor dan industri menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Vietnam. Sektor industri dan konstruksi tumbuh 9,11%, sementara industri pengolahan dan manufaktur mencapai rekor enam tahun dengan peningkatan 11,41%.
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, menilai pertumbuhan PDB Vietnam yang tinggi menunjukkan keberhasilan negara tersebut dalam mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi. "Menarik investasi masuk ke Vietnam, termasuk investasi asing, terutama di sektor industri manufaktur," ujar Faisal.
Investasi di Vietnam tidak hanya terfokus pada industri padat karya seperti tekstil atau sepatu, tetapi juga merambah ke teknologi tingkat tinggi. Hal ini memberikan nilai tambah langsung ke industri elektronika Vietnam.
Faisal menilai Vietnam bisa menjadi kekuatan baru di ASEAN, meskipun secara kekuatan ekonomi masih berada di bawah Indonesia, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Namun, dari sisi PDB per kapita, Vietnam sudah melampaui Filipina.
"Jika melihat tingkat kesejahteraannya, Vietnam hanya sedikit di bawah Indonesia. Yang tertinggi tentu saja Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, Indonesia, Vietnam, dan Filipina di bawahnya," jelas Faisal.
Faisal memprediksi Vietnam berpotensi menyalip Malaysia dalam hal besaran ekonomi, yang berarti juga akan menyalip Indonesia. "PDB per kapitanya memang masih jauh dari Indonesia, tapi tingkat kesejahteraannya tidak menutup kemungkinan terus tinggi jika Vietnam terus tumbuh 7% dan Indonesia hanya 5%," kata Faisal.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), juga melihat Vietnam sebagai pesaing berat Indonesia. Bahkan, Bhima menilai Vietnam jauh di atas Indonesia dalam kapasitas industri bernilai tambah dan berteknologi tinggi.
"Indonesia masih terjebak pada pengolahan dan pengolahan di Indonesia basisnya sumber daya alam. Kita produksi nikel setengah jadi, kirimnya ke Vietnam diolah jadi baterai kendaraan listrik jadi VinFast. Nah nanti VinFast masuk ke Indonesia jadi nilai tambahnya sebenarnya banyak dinikmati Vietnam," jelas Bhima.
Bhima melihat Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang besar, namun PMI manufakturnya melemah. PHK massal justru terjadi di sektor manufaktur padat karya.
"Mungkin karena kebijakan daya saing kita, dukungan investasi untuk mesin dan teknologi tidak sebesar dukungan pemerintah Vietnam, dan juga terkesan Indonesia relatif lebih proteksionisme dibandingkan Vietnam," ujar Bhima.
Menurutnya, hal itu terlihat dari derasnya impor ilegal ke Indonesia yang merusak industri manufaktur. Padahal, jika dilihat dari sumber daya, jumlah tenaga kerja, dan konsumen, seharusnya Indonesia bisa lebih unggul daripada Vietnam.